TAJAM! Rahasia Ngomik Menarik Ala Kak Kurnia!

Slice of Life Bikin Bosan? Eits. Siapa Bilang!

CREATORRAID

MatchaPafe

9/20/20233 min baca

Hai teman-teman! Masih belum bosan sama Ara kan? (・ω<)

Teman-teman pernah dengar istilah slice of life? Itu tuh, cerita tentang kehidupan sehari-hari! Meski ceritanya simpel, komik slice of life tetap asyik untuk dibaca, lho!

Ngomong-ngomong soal komik slice of life, yuk Ara kenalin sama Kak Kurnia Harta Winata, komikus asal Jogja yang terkenal dengan “Si Koel”, “Hingga Usai Usia”, dan “Pupus Putus Sekolah”!

𝗛𝗮𝗹𝗼 𝗞𝗮𝗸 𝗞𝘂𝗿𝗻𝗶𝗮! 𝗔𝗿𝗮 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝘁𝗮𝗵𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸, 𝘀𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗸𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗼𝗺𝗶𝗸?

Sejak dulu, haha.

𝗦𝗲𝗷𝗮𝗸 𝗱𝘂𝗹𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗮𝗽𝗮𝗻 𝘁𝘂𝗵, 𝗞𝗮𝗸? (◎ー◎;)

Komik paling lawasku yang terlacak sepertinya dibuat saat aku masih belajar menulis. Teksnya cakar ayam. Karakternya stickman. Ceritanya nggak bisa kupahami lagi.

Waktu SMP, terutama kelas dua, aku aktif sekali. Bahkan ada dua buku yang kujilid pakai benang. Saat SMA bisa dibilang berhenti dan mulai lagi tengah-tengah kuliah. Baru tahun 2010, setelah bekerja cukup lama (bukan ngomik), komikku pertama kali diterbitkan secara mayor.

Waktu itu sedang ada gelombang penerbitan komik cetak yang dimulai dari keberhasilan Benny & Mice. Sebuah penerbit menawarkan untuk menerbitkan komik-komik stripku yang kuunggah di Facebook secara berkala.

𝗪𝗮𝗵, 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗙𝗮𝗰𝗲𝗯𝗼𝗼𝗸 𝗻𝗮𝗶𝗸 𝗸𝗲 𝗸𝗼𝗺𝗶𝗸 𝗰𝗲𝘁𝗮𝗸? 𝗨𝗻𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗿𝗲𝗻 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁 𝗻𝗶𝗵!

𝗟𝗮𝗹𝘂, 𝗮𝘄𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗼𝘁𝗶𝘃𝗮𝘀𝗶 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗼𝗺𝗶𝗸?

Aku suka gambar dan punya dorongan kuat untuk membuat cerita. Dari keduanya, komik adalah media paling masuk akal untuk dikerjakan sendirian. Aku bisa bebas menceritakan yang ingin kuceritakan tanpa perlu khawatir soal waktu dan uang.

𝗛𝗺𝗺, 𝗶𝘆𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘆𝗮. 𝗞𝗼𝗺𝗶𝗸 𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮𝗻𝘆𝗮!

𝗡𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴-𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴, 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗸𝗼𝗺𝗶𝗸 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸, 𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶?

Tiap karya punya kesannya dan konteksnya sendiri-sendiri. Untuk pertanyaan ini, aku pilih edisi komik “Hingga Usai Usia” yang dibuat bersama Rifka Annisa (LSM yang fokus berusaha menghapus kekerasan terhadap perempuan).

Dalam proses pembuatan komik tersebut, saya "dipaksa" melakukan pendekatan positif pada isu-isu yang diangkat. Itu sulit, karena saya terbiasa sinis.

Selain itu, saya menikmati proses diskusinya. Kami (saya yang bikin cerita, istri yang nggambar, penyuluh dan konselor dari Rifka Annisa) duduk satu meja. Kami menentukan isu apa saja yang mau diangkat. Itu mencakup apa yang selama ini terjadi, perubahan apa yang dikehendaki, dan bagaimana cara mencapainya.

Cara mencapainya diambil dari studi kasus di lapangan dan ruang-ruang konseling. Kami bicarakan apa-apa yang terjadi dalam benak pelaku sebagai penyebab dan cara membongkar pikiran-pikiran tersebut. Lalu baru kami bicarakan bagaimana menerapkannya dalam komik. Proses ini memberikan gambaran yang lebih jernih dalam kepala saya: langkah per langkah cara membidik batin pembaca.

Secara sadar, membidik pembaca dan menyentuhnya dengan pendekatan positif terus saya usahakan hingga kini.

𝗧𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮 𝗽𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗶𝗱𝗶𝗸 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗽𝗮𝗻𝗷𝗮𝗻𝗴 𝗷𝘂𝗴𝗮, 𝘆𝗮! 𝗞𝗮𝗹𝗮𝘂 𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮-𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝗴𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮, 𝗞𝗮𝗸? 𝗔𝗽𝗮 𝘀𝘂𝗺𝗯𝗲𝗿 𝗶𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗶𝘀𝗸𝘂𝘀𝗶 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗶𝗻𝗶?

Karena tiap komikku punya bahasannya sendiri, maka masing-masing punya sumber inspirasinya sendiri.

𝗪𝗮𝗵, 𝗴𝗶𝘁𝘂 𝘆𝗮? 𝗞𝗮𝗹𝗮𝘂 “𝗣𝘂𝗽𝘂𝘀 𝗣𝘂𝘁𝘂𝘀 𝗦𝗲𝗸𝗼𝗹𝗮𝗵” 𝗴𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮, 𝗞𝗮𝗸? 𝗔𝗿𝗮 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁 𝗣𝘂𝗽𝘂𝘀! ( ´ 艸`)

Berhubung “Pupus” serial yang cukup panjang dan mencakup banyak hal, maka sumber inspirasinya juga macam-macam. Mungkin asyik kalau ditodong sumber berdasar per adegan, tapi kalau secara umum, saya kok malas menelusuri satu demi satu. Maaf 😭

𝗘𝗵, 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝗸𝗼𝗸 𝗞𝗮𝗸! (𝗢𝘄𝗢)𝗯

Paling tidak saya bisa sebutkan, untuk materi saya ambil landasan pemikiran dan semangatnya Romo Mangun. Untuk pola cerita, saya contek gaya berceritanya Lucy Montgomery yang terasa mengalir begitu saja, hal-hal yang terasa acak di awal jadi resolusi untuk masalah di akhir.

𝗝𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗵𝗮𝗹 𝗸𝗲𝗰𝗶𝗹 𝗱𝗶 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝗻𝘆𝗮𝗺𝗯𝘂𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿, 𝗯𝗲𝗴𝗶𝘁𝘂 𝘆𝗮, 𝗞𝗮𝗸?

𝗢𝗵 𝗶𝘆𝗮, 𝗞𝗮𝗸. 𝗧𝗲𝗺𝗮𝗻-𝘁𝗲𝗺𝗮𝗻 𝗔𝗿𝗮 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴, 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗹𝗶𝘀 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝘀𝗹𝗶𝗰𝗲 𝗼𝗳 𝗹𝗶𝗳𝗲 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗶𝗸𝗶𝗻 𝗯𝗼𝘀𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝘂𝘀𝗮𝗵! 𝗔𝗽𝗮 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮 𝘁𝗶𝗽𝘀 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝗷𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗿𝗲𝗹𝗮𝘁𝗮𝗯𝗹𝗲, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗿𝗶𝗸 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗰𝗮?

Tidak ada tips khusus apabila itu dimaknai sebagai sebuah tombol yang tiba-tiba membuat karya kita berbeda. Tapi ada disiplin dan latihan yang bisa dijalankan (yang sebenarnya juga dibutuhkan dalam membuat cerita genre apapun).

Pencerita butuh terampil dalam mengamati dan menyerap keseharian di sekitar dengan baik, dengan perhatian yang tidak diganggu oleh persepsi yang memandang hal-hal biasa sebagai tidak menarik.

𝗪𝗮𝗵, 𝗺𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱𝗻𝘆𝗮 𝗴𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝘁𝘂𝗵, 𝗞𝗮𝗸? (◎ー◎;)

Misalnya untuk menggambarkan tokoh utama adalah orang baik, ada adegan klise: membantu nenek yang jatuh terserempet mobil.

Dengan menggunakan elemen keseharian, kita bisa menggantinya dengan: membantu nenek menggotong galon atau tabung gas. Ini jadi Indonesia banget, lho. Selama obyeknya mudah dikenali dalam hidup sehari-hari, semakin spesifik yang ditampilkan, maka semakin terhubung pula perasaan pembaca. Karena kebanyakan dari kita belum pernah keserempet mobil tapi pernah merasakan beratnya mengangkat galon atau tabung gas.

Masalahnya, persepsi kita sebagai pencerita sering menutup pilihan itu karena merasa galon dan tabung gas terlalu biasa. Ya memang biasa, kalau hanya teronggok di sudut dapur tanpa konteks apapun. Tapi dalam konteks berbeda, sebuah obyek akan punya makna yang berbeda. Ini yang perlu dilatih dalam keseharian: kapan dan bagaimana hal-hal remeh bisa punya makna.

𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗯𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗱𝗲𝗿𝗵𝗮𝗻𝗮 𝗽𝘂𝗻 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗴𝘂𝘀, 𝘆𝗮. 𝗔𝗿𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗯𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿, 𝗻𝗶𝗵! |・ω・`)

𝗧𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮 𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗯𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗶𝗹𝗺𝘂𝗻𝘆𝗮 𝘆𝗮, 𝗞𝗮𝗸! 𝗔𝗿𝗮 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝘀𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗻𝗶𝗵, 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮-𝗸𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁𝗻𝘆𝗮!

Narasumber: Kurnia Harta Winata
Penulis: MatchaPafe
Editor: mendo(an)kucai
Sumber Foto: Kurnia Harta Winata